Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Pada awal masa ke-20 perpecahan dalam bentuk baku goresan pena bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bab dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin berpengaruh dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak forum ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan kegiatan Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di bermacam sekolah pribumi dan sedikit instansi milik pemerintah. Perkembangan kegiatan ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada ketika Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas anjuran Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan andal sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang sanggup dibutuhkan menjadi bahasa persatuan yakni bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia kaya dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, menyerupai Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut kaya mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, inginpun morfologi bahasa Indonesia.
(Sumber: id.wikipedia.org)